"Your life is a gift from the creator. Your gift back to the Creator is what you do with your life”
Selamat pagi Kawan, Beberapa waktu yang lalu, saya sempat chatting
dengan seorang teman lama. Teman saya itu merasa ‘bosan’ menjalani
internship. Sang teman tersebut bercerita bahwa dia sampai bingung akan
menghabiskan waktunya yang sangat luang untuk melakukan apa. Dia
bertanya, bagaimana dengan yang saya alami? Melalui tulisan ini, saya
berbagi cerita denganmu, Teman.
*** Bagi
saya, saat-saat menjalani internship dokter adalah saat kita
‘dibanjiri’ waktu luang. Jam kerja kami di puskesmas adalah antara jam
07.15-13.00 WIB. Bagi sebagian orang, mungkin itu waktu yang lama dan
membosankan untuk bekerja. Tapi bagi sebagian orang yang lain, jam kerja
tersebut cukup proporsional dan menyenangkan. Kita masih memiliki 18
jam sisa waktu luang dalam sehari. Cukup panjang untuk disyukuri.
Waktu
luang itu terasa semakin panjang saat saya bertugas di Pulau Mandangin
selama beberapa hari. Saya tidak bisa mengisi waktu luang saya dengan
berlama-lama menulis, ‘berdiskusi’, dan ‘bergumul’ bersama si laptop. Di
pulau ini, listrik hanya hidup sekitar pukul 6 sore dan kemudian mati
sekitar jam 5.30 pagi. Berada di pulau ini, Saya serasa kembali ke era
di saat listrik belum menjadi kebutuhan yang mendasar dan tak
tergantikan. Seperti jaman bapak saya masih muda, saat nenek saya masih kinyis-kinyis. Jaman di saat saya masih belum ‘direncanakan’ keberadaannya. :)
Beberapa
hari di Mandangin dengan sebagian besar waktu tanpa listrik, membuat
saya ‘berevolusi’ dan mengembangkan kegemaran baru. Yakni, berbicara
dengan anak-anak. Mungkin terdengar konyol. Awalnya saya juga heran,
mengapa saya justru suka berbicara dengan anak-anak, bukannya dengan mbak-mbak. :D
Sebagian
besar penduduk Pulau Mandangin berkomunikasi menggunakan bahasa madura.
Sedangkan saya, baru sedikit mengerti bahasa Madura. Celakanya,
sebagian besar orang Mandangin yang saya temui tidak bisa berbahasa
Indonesia.
Namun
lain halnya dengan anak-anak, khususnya mereka yang sedang duduk di
bangku sekolah dasar. Mereka mengerti bahasa Indonesia. Bertemu mereka
seperti menemukan ‘oase’ di tengah gurun pasir. Saya jadi tidak merasa
sebagai orang asing. :) Mereka dapat mengerti apa yang saya sampaikan.
Dan yang lebih penting lagi, saya dapat memahami maksud mereka.
Suatu
sore saya berenang di pantai. Saya menyempatkan diri untuk menyapa dan
berbincang dengan sejumlah anak. Beberapa nama yang saya ingat adalah
Hosen (kelas 6 SD) dan Kosem (kelas 3 SD). Saya iseng bertanya kepada
mereka tentang cita-cita mereka di saat dewasa kelak. Kosem menjawab
ingin punya kapal seperti Haji **** (saya tidak ingat namanya). Seorang
anak lain menjawab dia ingin jadi pemain sepak bola. Dan Hosen, salah
satu nama yang saya ingat, menjawab ingin melaut bersama bapaknya.
Jawaban tersebut sempat membuat saya terhenyak. Cita-cita yang sangat
sederhana, bahkan jika dibanding dengan saya yang lahir jauh lebih dulu
dari mereka. Sebagai pembanding, belasan tahun yang lalu saya pernah
bercita-cita menjadi Ultraman. :D
Mendengar
jawaban anak-anak itu, entah ada sesuatu yang menggerakkan saya untuk
menggambar perahu di atas media pasir pantai. Saya bercerita kepada
mereka tentang sebuah kapal yang canggih. Tentang, kapal yang sangat
cepat. Kapal yang pintar, kapal yang bisa membawa mereka ke tempat
ikan-ikan besar. Kapal yang memiliki dapur, kamar, juga kolam renang.
Saya bertanya apakah mereka ingin naik kapal seperti itu. Mereka
terdiam, dan beberapa mengangguk dengan malu-malu. Saya berkata kepada
mereka, bahwa mereka harus sekolah. Mereka harus giat belajar dan
berdoa. Jika mereka berhasil kelak, mereka bisa naik kapal seperti itu.
Semoga saja.
Saya
bukanlah seorang penutur verbal yang baik. Saya juga tidak berharap
banyak bahwa cerita saya akan memacu mereka untuk belajar. Dan kalau pun
mereka jadi bersemangat, banyak hal yang dapat memupuskan harapan di
kemudian hari. Namun saya merasa sedikit terhibur saat mendengar
kata-kata Hosen. "Saya ingin sekolah SMP.” Sebuah niat dan impian telah
tertanam. :)
*** Selama
beberapa waktu setelahnya, saya masih merasa bersyukur atas sepenggal
senja yang saya habiskan bersama anak-anak itu. Saya yakin engkau juga
memiliki waktu seperti itu, Kawan. Waktu yang membuat kita semakin
bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Waktu yang membawa
kita untuk sejenak melihat ke ‘bawah’, berlari dari kekangan ego dan
belenggu ambisi duniawi. Waktu dimana kita berada di tengah keriuhan
dunia, namun justru dapat merasakan ketenangan dan kedekatan dengan sang
Pencipta.
Teman, Tak
perduli berapa banyak waktu luangmu, lakukanlah apa yang dapat
membuatmu bahagia. Hiduplah dengan perbuatan-perbuatan apa saja yang kau
sukai. Tapi ingatlah teman, kita tak selamanya memiliki waktu luang
ini. Lakukanlah sesuatu yang menurutmu benar dan bermanfaat. Karena saat
kita sadar bahwa sesungguhnya kita tak ‘memiliki’ waktu lagi, semuanya
telah terlambat.
Seorang
ulama sufi berkata, "Ad-dunya mazro’atul akhiroh”. Dunia adalah
ladangnya akhirat. Barangsiapa menanam kebaikan hari ini, dia akan
menuainya di ‘hari kemudian’.
Orang
boleh menganggap apa yang kita lakukan itu tak berguna, tak ada nilai
tambahnya bagi kita sebagai dokter. Saya juga tidak tahu, pengalaman
seperti yang saya alami itu akan membawa saya menjadi orang seperti apa
di masa mendatang. Namun satu hal yang saya yakini. Waktu luang seperti
itu adalah sebuah anugrah. Seberapa kaya dan berjayanya kita nanti, kita
tak akan sanggup membeli waktu-waktu seperti itu. Tak akan pernah.
Pada
saat-saat seperti itu, saya merasa sadar. Terlepas dari fakta bahwa
saya seorang dokter, saya juga seorang manusia. Yang suatu saat nanti
juga akan ‘habis’ waktunya.
M.A. Empitu, di waktu luangnya. Sampang, 18 Maret 2011
Special Thanks: Fadhil Rashid, for his tough camera.
|
Memakai sandal ke sekolah. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Es "Wawan", masih ada di jaman sekarang. :) |
|
'Itu' nya ditutupi dong. |
|
Bermain di atas jala. |
|
Menulis di atas pasir. |
|