Dokter Internship Indonesia

Blog

Main » 2013 » January » 14 » Catatan Dokter Internship (2): Menghargai Waktu Luang
23:33:40
Catatan Dokter Internship (2): Menghargai Waktu Luang





"Your life is a gift from the creator. Your gift back to the Creator is what you do with your life”

Selamat pagi Kawan,
 Beberapa waktu yang lalu, saya sempat chatting dengan seorang teman lama. Teman saya itu merasa ‘bosan’ menjalani internship. Sang teman tersebut bercerita bahwa dia sampai bingung akan menghabiskan waktunya yang sangat luang untuk melakukan apa. Dia bertanya, bagaimana dengan yang saya alami? Melalui tulisan ini, saya berbagi cerita denganmu, Teman.

***
Bagi saya, saat-saat menjalani internship dokter adalah saat kita ‘dibanjiri’ waktu luang. Jam kerja kami di puskesmas adalah antara jam 07.15-13.00 WIB. Bagi sebagian orang, mungkin itu waktu yang lama dan membosankan untuk bekerja. Tapi bagi sebagian orang yang lain, jam kerja tersebut cukup proporsional dan menyenangkan. Kita masih memiliki 18 jam sisa waktu luang dalam sehari. Cukup panjang untuk disyukuri.

Waktu luang itu terasa semakin panjang saat saya bertugas di Pulau Mandangin selama beberapa hari. Saya tidak bisa mengisi waktu luang saya dengan berlama-lama menulis, ‘berdiskusi’, dan ‘bergumul’ bersama si laptop. Di pulau ini, listrik hanya hidup sekitar pukul 6 sore dan kemudian mati sekitar jam 5.30 pagi. Berada di pulau ini, Saya serasa kembali ke era di saat listrik belum menjadi kebutuhan yang mendasar dan tak tergantikan. Seperti jaman bapak saya masih muda, saat nenek saya masih kinyis-kinyis. Jaman di saat saya masih belum ‘direncanakan’ keberadaannya. :)

Beberapa hari di Mandangin dengan sebagian besar waktu tanpa listrik, membuat saya ‘berevolusi’ dan mengembangkan kegemaran baru. Yakni, berbicara dengan anak-anak. Mungkin terdengar konyol. Awalnya saya juga heran, mengapa saya justru suka berbicara dengan anak-anak, bukannya dengan mbak-mbak. :D

Sebagian besar penduduk Pulau Mandangin berkomunikasi menggunakan bahasa madura. Sedangkan saya, baru sedikit mengerti bahasa Madura. Celakanya, sebagian besar orang Mandangin yang saya temui tidak bisa berbahasa Indonesia.

Namun lain halnya dengan anak-anak, khususnya mereka yang sedang duduk di bangku sekolah dasar. Mereka mengerti bahasa Indonesia. Bertemu mereka seperti menemukan ‘oase’ di tengah gurun pasir. Saya jadi tidak merasa sebagai orang asing. :) Mereka dapat mengerti apa yang saya sampaikan. Dan yang lebih penting lagi, saya dapat memahami maksud mereka.

Suatu sore saya berenang di pantai. Saya menyempatkan diri untuk menyapa dan berbincang dengan sejumlah anak. Beberapa nama yang saya ingat adalah Hosen (kelas 6 SD) dan Kosem (kelas 3 SD). Saya iseng bertanya kepada mereka tentang cita-cita mereka di saat dewasa kelak. Kosem menjawab ingin punya kapal seperti Haji **** (saya tidak ingat namanya). Seorang anak lain menjawab dia ingin jadi pemain sepak bola. Dan Hosen, salah satu nama yang saya ingat, menjawab ingin melaut bersama bapaknya. Jawaban tersebut sempat membuat saya terhenyak. Cita-cita yang sangat sederhana, bahkan jika dibanding dengan saya yang lahir jauh lebih dulu dari mereka. Sebagai pembanding, belasan tahun yang lalu saya pernah bercita-cita menjadi Ultraman. :D

Mendengar jawaban anak-anak itu, entah ada sesuatu yang menggerakkan saya untuk menggambar perahu di atas media pasir pantai. Saya bercerita kepada mereka tentang sebuah kapal yang canggih. Tentang, kapal yang sangat cepat. Kapal yang pintar, kapal yang bisa membawa mereka ke tempat ikan-ikan besar. Kapal yang memiliki dapur, kamar, juga kolam renang. Saya bertanya apakah mereka ingin naik kapal seperti itu. Mereka terdiam, dan beberapa mengangguk dengan malu-malu. Saya berkata kepada mereka, bahwa mereka harus sekolah. Mereka harus giat belajar dan berdoa. Jika mereka berhasil kelak, mereka bisa naik kapal seperti itu. Semoga saja.

Saya bukanlah seorang penutur verbal yang baik. Saya juga tidak berharap banyak bahwa cerita saya akan memacu mereka untuk belajar. Dan kalau pun mereka jadi bersemangat, banyak hal yang dapat memupuskan harapan di kemudian hari. Namun saya merasa sedikit terhibur saat mendengar kata-kata Hosen. "Saya ingin sekolah SMP.” Sebuah niat dan impian telah tertanam. :)

***
Selama beberapa waktu setelahnya, saya masih merasa bersyukur atas sepenggal senja yang saya habiskan bersama anak-anak itu. Saya yakin engkau juga memiliki waktu seperti itu, Kawan. Waktu yang membuat kita semakin bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Waktu yang membawa kita untuk sejenak melihat ke ‘bawah’, berlari dari kekangan ego dan belenggu ambisi duniawi. Waktu dimana kita berada di tengah keriuhan dunia, namun justru dapat merasakan ketenangan dan kedekatan dengan sang Pencipta.

Teman,
Tak perduli berapa banyak waktu luangmu, lakukanlah apa yang dapat membuatmu bahagia. Hiduplah dengan perbuatan-perbuatan apa saja yang kau sukai. Tapi ingatlah teman, kita tak selamanya memiliki waktu luang ini. Lakukanlah sesuatu yang menurutmu benar dan bermanfaat. Karena saat kita sadar bahwa sesungguhnya kita tak ‘memiliki’ waktu lagi, semuanya telah terlambat.

Seorang ulama sufi berkata, "Ad-dunya mazro’atul akhiroh”. Dunia adalah ladangnya akhirat. Barangsiapa menanam kebaikan hari ini, dia akan menuainya di ‘hari kemudian’.

Orang boleh menganggap apa yang kita lakukan itu tak berguna, tak ada nilai tambahnya bagi kita sebagai dokter. Saya juga tidak tahu, pengalaman seperti yang saya alami itu akan membawa saya menjadi orang seperti apa di masa mendatang. Namun satu hal yang saya yakini. Waktu luang seperti itu adalah sebuah anugrah. Seberapa kaya dan berjayanya kita nanti, kita tak akan sanggup membeli waktu-waktu seperti itu. Tak akan pernah.

Pada saat-saat seperti itu, saya merasa sadar. Terlepas dari fakta bahwa saya seorang dokter, saya juga seorang manusia. Yang suatu saat nanti juga akan ‘habis’ waktunya.


M.A. Empitu, di waktu luangnya.
Sampang, 18 Maret 2011

 Special Thanks: Fadhil Rashid, for his tough camera.



Memakai sandal ke sekolah.







Es "Wawan", masih ada di jaman sekarang. :)


'Itu' nya ditutupi dong.

Bermain di atas jala.

Menulis di atas pasir.

Views: 330 | Added by: shevahck | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *: