Setiap orang akan memasuki usia tua di kemudian hari. Ada yang
menghadapinya dengan biasa-biasa saja karena menganggap proses penuaan
sebagai proses fisiologis yang ditandai adanya penurunan fungsi dan
metabolisme organ tubuh. Di sisi lain ada pula yang merasa khawatir bila
menjadi tua. Makin peyot makin sakit-sakitan, katanya. Semakin
meningkatnya usia harapan hidup orang Indonesia serta diprediksikan
terjadi peningkatan jumlah lanjut usia menjadi 5,5% dari jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2010, akan menimbulkan masalah kesehatan . Berbagai masalah kesehatan pada orang lanjut usia itulah yang coba dibahas dalam simposium KPPIK dengan tema "Aging Medicine, A Problem Based Approach for Medical Professional",
bertempat di Hotel Sahid Jaya Jakarta, Sabtu-Minggu (25-26/2) lalu.
Acara tahunan tersebut kali ini dihadiri 2000 peserta yang terdiri dari
1700 dokter umum dan 300 dokter spesialis. Pembesaran Prostat Jinak Salah
satu organ yang "bermasalah" pada usia lanjut adalah organ yang
terlibat dalam sistem saluran berkemih dan genitalia. Pada laki-laki
proses penuaan dan pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan penyebab
paling sering yang menyebabkan terjadinya "masalah" tersebut. Gejala-gejala yang berhubungan dengan proses berkemih dikenal dengan istilah lower urinary tract symptoms
(LUTS), demikian ungkap Rochani dari Departemen Bedah FKUI/RSCM. LUTS
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obstruktif dan iritatif. Gejala
obstruktif berupa hesitancy, pancaran lemah, tidak lampias, intermittency, mengejan, retensi (akut dan kronik). Sedangkan gejala iritatif terdiri dari frequency, urgency, nokturia dan urge incontinence. Selain proses penuaan dan PPJ, penyakit lokal, penyakit neurologi, penyakit yang berhubungan dengan umur (age-related diseases), perubahan hormon, anoksia, dan high nocturnal diuresis menjadi faktor penyebab terjadinya LUTS.
Saat
tubuh mulai menua akan terjadi perubahan struktur, fungsi dan
metabolisme otot detrusor, saraf simpatis-parasimpatis, serta perubahan
penyempitan pembuluh darah. Semua itu menyebabkan kelemahan kontraksi
otot detrusor, kemudian terjadi hipoksia jaringan yang selanjutnya
memicu perubahan persarafan hingga akhirnya timbullah gejala LUTS. Stroke menjadi penyakit neurologi tersering yang menyebabkan LUTS. Yang terjadi adalah penurunan kapasitas dan overactive
dari kandung kemih. Di sisi lain, Parkinson menimbulkan gejala iritasi
tapi jarang gejala obstruksi. Pada pemeriksaan urodinamik didapatkan detrusol hyperreflexia dan kadang-kadang sphincter detrussor dyscoordination.
Neuropati akibat diabetes melitus pun ikut berperan dalam terjadinya
LUTS. Gejala yang ditimbulkan berbeda tergantung pada lesi saraf mana
neuropati itu berlangsung. Bila mengenai saraf simpatis, pasien mengeluh
urgency, frequency, dan nokturia. Sedangkan bila saraf parasimpatis yang terkena, gejala yang dirasakan adalah overflow incontinence akibat hipotonia/atonia kandung kemih dimana pasien sering 'ke belakang' tapi kandung kemihnya penuh. Salah satu cara tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score
(IPSS). Skor yang terdiri dari 7 pertanyaan dengan rentang nilai 0-5
(total 35) ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien PPJ.
Skor 0-7 berarti gejala ringan, 8-19 gejala sedang dan 20-35 gejala
berat. Pemeriksaan colok dubur tidak boleh dilupakan. Dari
pemeriksaan ini, pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul dapat diperkirakan. Apabila colok dubur dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan prostat specific antigen (PSA), karsinoma prostat
dapat terdeteksi lebih baik daripada colok dubur saja. Nilai normal PSA
bervariasi tergantung umur. Pada umur 40-49 tahun, nilai normal PSA
adalah 0-2,5 ng/ml, 50-59 tahun 0-3,5 ng/ml, 60-69 tahun 0-4,5 ng/ml,
dan 70-79 tahun 0-6,5 ng/ml. Untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah secara non invasif dapat dilakukan
uroflometri. Data yang diperoleh adalah volume miksi, pancaran maksimum
(Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
pancaran maksimum, dan lama pancaran. Kelemahan uroflometri
adalah tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran
urin, sebab pancaran urin yang lemah dapat disebabkan karena bladder outlet obstruction (BOO) atau kelemahan otot detrusor. Kelemahan uroflometri tersebut ternyata dapat disingkapi dengan pemeriksaan urodinamik (pressure flow study).
Pemeriksaan urodinamik dapat membedakan BOO atau kelemahan otot
detrusor sebagai penyebab pancaran urin yang lemah. Urodinamik sangat
bermanfaat pada pasien yang hendak menjalani pembedahan. Bila diketahui
penyebabnya adalah kelemahan otot detrusor maka prosedur bedah tidak
perlu dilakukan karena tidak ada manfaatnya. Sayangnya, pemeriksaan
urodinamik bersifat invasif namun diimbangi dengan sensitifitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi yaitu 87% dan 93%. Inkontinensia Urin Sementara
PPJ hanya 'milik' pria, inkontinensia urin justru lebih banyak pada
wanita daripada pria usia lanjut. Hal itu tercermin dari survei
inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSCM. Menurut Siti Setiati dari Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM, dari 179 orang usia lanjut di poliklinik Geriatri RSCM
tahun 2003, didapatkan angka kejadian inkontinensia urin stres pada
laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%. Berdasarkan
penyebab, inkontinensia urin dibagi menjadi inkontinensia urin akut dan
kronik. Inkontinensia urin kronik dibagi lagi menjadi 5 macam yaitu
tipe stres, tipe urgensi, tipe overflow, tipe campuran, dan tipe fungsional. Tipe
stres merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Pada tipe stres, urin
keluar akibat peningkatan tekanan intraabdomen seperti saat batuk,
bersin, tertawa, atau melemahnya otot dasar panggul yang disebabkan oleh
latihan yang berat atau luka di dasar panggul akibat kecelakaan. Perlu
diingat bahwa seringkali pada usia lanjut, inkontinensia yang terjadi
tidak hanya 1 tipe melainkan tipe campuran (kombinasi 2 tipe atau
lebih). Yang paling sering adalah campuran antara tipe stress dan
urgensi. Tatalaksana inkontinensia urin dapat berupa tatalaksana
nonfarmakologis, farmakologis, dan pembedahan. Intervensi prilaku
merupakan tatalaksana nonfarmakologis yang memiliki risiko rendah dengan
sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama yang baik
dari penderita. Intervensi prilaku meliputi bladder training, habit training, prompted training, dan latihan otot dasar panggul. Bladder training
merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi
nonfarmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval
berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik
relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali
per hari atau 3-4 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan
dapat menahan sensasi berkemih. Penderita diinstruksikan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula tiap jam, selanjutnya interval
berkemih diperpanjang secara bertahap sampai penderita ingin berkemih
setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada tipe urgensi dan
stres. Akan tetapi, sekali lagi ditekankan bahwa terapi ini hanya
berhasil bila ada motivasi yang kuat dari penderita untuk berlatih
menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu. Apabila
tatalaksana nonfarmakologis tidak berhasil barulah beralih ke
tatalaksana farmakologis. Tatalaksana farmakologis untuk inkontinensia
urin tipe stres adalah alfa agonis yang menyebabkan penutupan leher
kandung kemih. Pseudoefedrin, contohnya, dapat digunakan untuk
tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan
sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Efek samping yang
ditimbulkan antara lain insomnia, sakit kepala, gugup, dan gelisah.
Penggunaannya harus amat hati-hati pada penderita dengan hipertensi,
aritmia jantung, dan angina. Selain alfa agonis, antikolinergik
dapat juga digunakan khususnya pada tipe urgensi. Oksibutinin memiliki
efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan
kompetitif bloker reseptor M3. Beberapa efek samping antikolinergik
adalah xerostomia, xerophtalmia, konstipasi, gangguan penglihatan,
sedative, retensi urin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan
dan delirium. Tatalaksana yang terakhir adalah bedah. Tindakan
pembedahan dapat dilakukan untuk memperbaiki kelemahan detrusor yaitu
dengan cara pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan
yang paling sering digunakan adalah ileosistoplasti dan miektomi
detrusor. Teknik pembedahan untuk tipe stres adalah injectable intraurethral bulking agents, suspensi leher kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Sementara itu untuk tipe urgensi adalah augmentation cytoplasty, dan stimulasi elektrik. Dalam
kesimpulannya, Siti menekankan bahwa terapi yang sebaiknya pertama kali
dilakukan adalah nonfarmakologis, bukan farmakologis dan bukan pula
pembedahan.
|