Dokter Internship Indonesia

Blog

Main » 2013 » January » 23 » Ketika Saluran Kemih Ikut Menua
00:18:26
Ketika Saluran Kemih Ikut Menua

Setiap orang akan memasuki usia tua di kemudian hari. Ada yang menghadapinya dengan biasa-biasa saja karena menganggap proses penuaan sebagai proses fisiologis yang ditandai adanya penurunan fungsi dan metabolisme organ tubuh. Di sisi lain ada pula yang merasa khawatir bila menjadi tua. Makin peyot makin sakit-sakitan, katanya. Semakin meningkatnya usia harapan hidup orang Indonesia serta diprediksikan terjadi peningkatan jumlah lanjut usia menjadi 5,5% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010, akan menimbulkan masalah kesehatan .

Berbagai masalah kesehatan pada orang lanjut usia itulah yang coba dibahas dalam simposium KPPIK dengan tema "Aging Medicine, A Problem Based Approach for Medical Professional", bertempat di Hotel Sahid Jaya Jakarta, Sabtu-Minggu (25-26/2) lalu. Acara tahunan tersebut kali ini dihadiri 2000 peserta yang terdiri dari 1700 dokter umum dan 300 dokter spesialis.

Pembesaran Prostat Jinak

Salah satu organ yang "bermasalah" pada usia lanjut adalah organ yang terlibat dalam sistem saluran berkemih dan genitalia. Pada laki-laki proses penuaan dan pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan penyebab paling sering yang menyebabkan terjadinya "masalah" tersebut.

Gejala-gejala yang berhubungan dengan proses berkemih dikenal dengan istilah lower urinary tract symptoms (LUTS), demikian ungkap Rochani dari Departemen Bedah FKUI/RSCM. LUTS dibagi menjadi 2 golongan yaitu obstruktif dan iritatif. Gejala obstruktif berupa hesitancy, pancaran lemah, tidak lampias, intermittency, mengejan, retensi (akut dan kronik). Sedangkan gejala iritatif terdiri dari frequency, urgency, nokturia dan urge incontinence.

Selain proses penuaan dan PPJ, penyakit lokal, penyakit neurologi, penyakit yang berhubungan dengan umur (age-related diseases), perubahan hormon, anoksia, dan high nocturnal diuresis menjadi faktor penyebab terjadinya LUTS. 


Saat tubuh mulai menua akan terjadi perubahan struktur, fungsi dan metabolisme otot detrusor, saraf simpatis-parasimpatis, serta perubahan penyempitan pembuluh darah. Semua itu menyebabkan kelemahan kontraksi otot detrusor, kemudian terjadi hipoksia jaringan yang selanjutnya memicu perubahan persarafan hingga akhirnya timbullah gejala LUTS.

Stroke menjadi penyakit neurologi tersering yang menyebabkan LUTS. Yang terjadi adalah penurunan kapasitas dan overactive dari kandung kemih. Di sisi lain, Parkinson menimbulkan gejala iritasi tapi jarang gejala obstruksi. Pada pemeriksaan urodinamik didapatkan detrusol hyperreflexia dan kadang-kadang sphincter detrussor dyscoordination. Neuropati akibat diabetes melitus pun ikut berperan dalam terjadinya LUTS. Gejala yang ditimbulkan berbeda tergantung pada lesi saraf mana neuropati itu berlangsung. Bila mengenai saraf simpatis, pasien mengeluh urgency, frequency, dan nokturia. Sedangkan bila saraf parasimpatis yang terkena, gejala yang dirasakan adalah overflow incontinence akibat hipotonia/atonia kandung kemih dimana pasien sering 'ke belakang' tapi kandung kemihnya penuh.

Salah satu cara tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor yang terdiri dari 7 pertanyaan dengan rentang nilai 0-5 (total 35) ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien PPJ. Skor 0-7 berarti gejala ringan, 8-19 gejala sedang dan 20-35 gejala berat.

Pemeriksaan colok dubur tidak boleh dilupakan. Dari pemeriksaan ini, pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul dapat diperkirakan. Apabila colok dubur dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan prostat specific antigen (PSA), karsinoma prostat dapat terdeteksi lebih baik daripada colok dubur saja. Nilai normal PSA bervariasi tergantung umur. Pada umur 40-49 tahun, nilai normal PSA adalah 0-2,5 ng/ml, 50-59 tahun 0-3,5 ng/ml, 60-69 tahun 0-4,5 ng/ml, dan 70-79 tahun 0-6,5 ng/ml.

Untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah secara non invasif dapat dilakukan uroflometri. Data yang diperoleh adalah volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.

Kelemahan uroflometri adalah tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urin, sebab pancaran urin yang lemah dapat disebabkan karena bladder outlet obstruction (BOO) atau kelemahan otot detrusor.

Kelemahan uroflometri tersebut ternyata dapat disingkapi dengan pemeriksaan urodinamik (pressure flow study). Pemeriksaan urodinamik dapat membedakan BOO atau kelemahan otot detrusor sebagai penyebab pancaran urin yang lemah. Urodinamik sangat bermanfaat pada pasien yang hendak menjalani pembedahan. Bila diketahui penyebabnya adalah kelemahan otot detrusor maka prosedur bedah tidak perlu dilakukan karena tidak ada manfaatnya. Sayangnya, pemeriksaan urodinamik bersifat invasif namun diimbangi dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu 87% dan 93%.

Inkontinensia Urin

Sementara PPJ hanya 'milik' pria, inkontinensia urin justru lebih banyak pada wanita daripada pria usia lanjut. Hal itu tercermin dari survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM. Menurut Siti Setiati dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, dari 179 orang usia lanjut di poliklinik Geriatri RSCM tahun 2003, didapatkan angka kejadian inkontinensia urin stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.

Berdasarkan penyebab, inkontinensia urin dibagi menjadi inkontinensia urin akut dan kronik. Inkontinensia urin kronik dibagi lagi menjadi 5 macam yaitu tipe stres, tipe urgensi, tipe overflow, tipe campuran, dan tipe fungsional.

Tipe stres merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Pada tipe stres, urin keluar akibat peningkatan tekanan intraabdomen seperti saat batuk, bersin, tertawa, atau melemahnya otot dasar panggul yang disebabkan oleh latihan yang berat atau luka di dasar panggul akibat kecelakaan.

Perlu diingat bahwa seringkali pada usia lanjut, inkontinensia yang terjadi tidak hanya 1 tipe melainkan tipe campuran (kombinasi 2 tipe atau lebih). Yang paling sering adalah campuran antara tipe stress dan urgensi.

Tatalaksana inkontinensia urin dapat berupa tatalaksana nonfarmakologis, farmakologis, dan pembedahan. Intervensi prilaku merupakan tatalaksana nonfarmakologis yang memiliki risiko rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama yang baik dari penderita. Intervensi prilaku meliputi bladder training, habit training, prompted training, dan latihan otot dasar panggul.

Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. Penderita diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula tiap jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai penderita ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada tipe urgensi dan stres. Akan tetapi, sekali lagi ditekankan bahwa terapi ini hanya berhasil bila ada motivasi yang kuat dari penderita untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu.

Apabila tatalaksana nonfarmakologis tidak berhasil barulah beralih ke tatalaksana farmakologis. Tatalaksana farmakologis untuk inkontinensia urin tipe stres adalah alfa agonis yang menyebabkan penutupan leher kandung kemih. Pseudoefedrin, contohnya, dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Efek samping yang ditimbulkan antara lain insomnia, sakit kepala, gugup, dan gelisah. Penggunaannya harus amat hati-hati pada penderita dengan hipertensi, aritmia jantung, dan angina.

Selain alfa agonis, antikolinergik dapat juga digunakan khususnya pada tipe urgensi. Oksibutinin memiliki efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif bloker reseptor M3. Beberapa efek samping antikolinergik adalah xerostomia, xerophtalmia, konstipasi, gangguan penglihatan, sedative, retensi urin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan dan delirium.

Tatalaksana yang terakhir adalah bedah. Tindakan pembedahan dapat dilakukan untuk memperbaiki kelemahan detrusor yaitu dengan cara pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang paling sering digunakan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan untuk tipe stres adalah injectable intraurethral bulking agents, suspensi leher kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Sementara itu untuk tipe urgensi adalah augmentation cytoplasty, dan stimulasi elektrik.

Dalam kesimpulannya, Siti menekankan bahwa terapi yang sebaiknya pertama kali dilakukan adalah nonfarmakologis, bukan farmakologis dan bukan pula pembedahan.

Views: 295 | Added by: shevahck | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *: